Cinta di Ujung Senja
Karya: Lindafang
Bukittinggi-Kami pertama kali bertemu bukan di pesta, bukan pula di kedai kopi, melainkan dalam ruang-ruang kerja yang riuh oleh narasi dan rencana pembangunan. Aku seorang wartawati. Dia—seorang tokoh yang sering muncul di berita-berita yang kutulis, seorang “pengambil keputusan” yang namanya sering disebut, tapi tak pernah benar-benar kukenal secara pribadi. Sampai hari itu.
Sore itu, aku datang untuk sebuah wawancara ringan. Topiknya biasa, tentang agenda daerah, kebijakan strategis, dan respons atas isu hangat yang sedang ramai. Kami duduk berhadapan di ruang kerjanya yang sunyi, ditemani secangkir kopi dan tumpukan berkas yang nyaris tak tersentuh.
“Sering nulis tentang saya ya?” tanyanya dengan senyum kecil yang nyaris tak tertebak maksudnya.
Aku hanya tersenyum. “Profesional saja, Pak. Nama Bapak terlalu sering muncul di rapat dan berita, ” jawabku ringan.
Obrolan kami pun berlanjut. Awalnya tentang pekerjaan. Lalu pelan-pelan bergeser menjadi kisah-kisah hidup. Tentang kesendirian, tentang waktu yang terus berlari, dan tentang luka-luka yang tak sempat sembuh karena semua orang terlalu sibuk mengejar tanggung jawab.
Ia jujur—dalam cara yang tidak kubayangkan sebelumnya.
“Ada banyak hal yang tidak sempat saya urus, ” katanya pelan. “Termasuk hati sendiri.”
Dan di sanalah, tanpa aba-aba, hatiku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan karena dia siapa. Tapi karena caranya melihatku—bukan sebagai jurnalis, bukan sebagai wanita, tapi sebagai seseorang yang juga letih menua dalam kesunyian.
---
Pertemuan itu tidak berhenti di ruang wawancara. Beberapa kali kami kembali bertemu. Dalam agenda yang katanya “kebetulan, ” tapi terasa terlalu pas untuk disebut kebetulan semata. Ia mulai sering mengirim pesan—tentang artikel yang ia baca, atau sekadar menanyakan kabar.
“Apa kamu tidak merasa sepi?” tanyanya suatu malam lewat pesan singkat.
Aku terdiam. Mungkin, kami sama. Terjebak dalam citra masing-masing. Aku dengan kamera dan tulisan. Dia dengan jabatan dan nama besar. Tapi di balik semuanya, kami hanyalah dua jiwa yang lelah sendiri.
Namun, seperti kisah yang terlalu indah, cinta ini tak datang tanpa batas. Dalam percakapan kami yang semakin jujur, aku akhirnya tahu: ia telah punya rumah. Bukan rumah yang utuh. Tapi cukup untuk menyadarkan bahwa tempatku bukan di sana.
“Dia masih ada?” tanyaku hati-hati.
“Masih, ” jawabnya. “Dan akan selalu begitu.”
Aku mengangguk. Tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Cinta ini tumbuh di tempat yang tak seharusnya. Tapi ia tumbuh—dan aku tak bisa menyangkalnya.
---
Kini, cerita ini kubungkus menjadi sebuah tulisan. Bukan sebagai berita, bukan sebagai laporan. Tapi sebagai kenangan. Disamarkan dalam nama, dalam tempat, dan dalam waktu. Tak ada yang tahu, siapa dia. Hanya aku yang tahu, betapa ia pernah membuat hatiku hidup kembali—meski hanya sejenak.
Dan cinta ini… biarlah tetap menjadi rahasia yang kutulis dalam bentuk fiksi, agar tak menyakiti siapa pun. Termasuk aku sendiri.
Cinta di usia senja memang tak selalu harus dimiliki. Kadang cukup dikenang. Kadang cukup dicintai dalam diam, tanpa pernah menuntut balasan.
Dan aku akan terus menulis. Mungkin tentang dunia. Mungkin tentang kebijakan. Tapi sesekali, tentang dia.
Tentang seorang lelaki dengan senyum hangat di balik kaca jendela ruang kerja,
yang sempat membuat seorang wartawati kembali percaya, bahwa cinta bisa datang… bahkan saat tak lagi muda.
Juni 2025