GenPI.co - Hotel mahal sekali di Damaskus. Pakai dolar. Warga asing tidak boleh bayar pakai selain dolar. Rp 4 juta/malam.
Itu menandakan ketidakseimbangan antara jumlah hotel dan banyaknya tamu. Khas negara yang ekonominya mulai bangkit.
Hotel tempat saya bermalam di Damaskus, Sheraton, sudah ancang-ancang diperluas. Sudah ada logo Seven Pillars di depan lobinya. Logo itu sempat membuat saya ragu: jangan-jangan ini bukan Sheraton.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Orang Penting
Ternyata Seven Pillars adalah nama baru hotel itu kelak. Setelah diperbesar. Sekaligus ganti pemiliknya. Semua aset milik penguasa lama dan kroninya diambil negara. Pemilik baru hotel ini investor dari Dubai.
Ini memang hotel tua: dibangun tahun 1976. Berarti dibangun di awal pemerintahan diktator keluarga Al Assad –yang baru runtuh setelah berkuasa 50 tahun.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Mendadak Syria
Perlu waktu setidaknya dua tahun untuk membuat keseimbangan antara jumlah hotel dan tamu. Membangun hotel tidak bisa cepat. Baru ada lima hotel bintang lima di Damaskus. Lebih banyak yang sedang dan akan dibangun di sana.
Boleh dikata semangat melupakan perang sudah mendominasi Damaskus. Entah di luar ibu kotanya. Itulah sebabnya saya harus ke Aleppo. Itu kota paling utara Syria –berbatasan dengan Turki. Kalau Damaskus adalah Beijingnya, Aleppo adalah Shanghainya.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Emak-Emak Mandiri
Berarti saya harus melewati kota Homes, Hama, dan Saraqib. Juga harus melewati wilayah kosong sejauh perjalanan 500 km itu. Sewa mobilnya Rp10 juta. Pajero 3.000cc. Untuk dua hari.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

















































